Pages

Friday 6 January 2017

Kerajaan Kaur Bengkulu

Kerajaan Kaur Bengkulu

Kerajaan Kaur didirikan pada sekitar tahun 1697 oleh Pangeran Raja Luwih yang Bergelar Sebrani Gunung Kaur, yang merupakan putra dari pasangan Dewa Sekanjang Hitam dan Dewa Sekanjang Putih, yang merupakan saudara dari Ratu Darah Putih Penguasa Kerajaan Banten pada masa lalu.

Kerajaan Banten pada masa itu mulai mengalami kemunduran akibat penguasaan Pelabuhan Sunda Kelapa atau Jayakarta oleh VOC Belanda pada tahun 1684.

Karena Kondisi Tersebut, Kerajaan Banten mencari daerah baru yang cocok untuk menggantikan posisi Sunda Kelapa sebagai bandar atau pelabuhan laut yang sangat vital bagi perdagangan pada masa itu.

Pangeran Santa atau Pangeran Senehak yang berasal dari Banten, tiba di Bandar Bintuhan pada sekitar Tahun 1693, sebelum bermukim beberapa lama di pesisir selatan Lampung, yaitu didaerah Ketapang, Kalianda. Kemudian bergerak kearah utara untuk mencari daerah yang lebih baik untuk membuat bandar atau pelabuahan laut.

Bandar Bintuhan  dipilihnya sebagai tempat yang cocok dan ia mulai melakukan penguasaan terhadap daerah sekitar Bandar Bintuhan dan mulai menyusun tata pemerintahan serta mulai pembangunan pelabuhan laut.

Pangeran Santa atau Senehak mendapat perlawanan sengit dari Kerajaan Rejang yang pada waktu itu talah terlebih dahulu menguasai daerah Kaur. Perselisian berbuntut perang terbuka antara Pangeran Santa dengan Kerajaan Rejang.

Ia kemudian meminta bantuan dari adiknya, Pangeran Raja Luwih. Dalam perjalaan dari Ketapang, Kalinda menuju Kaur, beliau membuat pedang pusaka yang diberi nama SEBARAU LAPAR, guna menghadapi Kedigjayaan Balandika Kerajaan Rejang.

Pedang SEBARAU LAPAR saat ini masih disimpan sangat baik oleh keturunan Pangeran Raja Luwih yang bermukim di Dusun Wai Hawang, Marga Sambat sekarang masuk dalam wilayah Kecamatan Maje..

Atas Prakarsa dari Kedatuaan Pasemah, sebagai Imperium Melayu di Bengkulu pada masa itu, di capai perdamaian dan pembagian wilayah. Kerajaan Lebong diberikan wilayah disekitar Lebong Tandai dan Kaur diberikan kepada Pangeran Santa.

Raja Tungkuk, seorang petinggian dari Kedatuan Pasema, diberi tugas untuk mengawal evakuasi Suku Rejang dari seluruh wilayah Sumatra bagian selatan, untuk pindah ke daerah Lebong Tandai, Disebelah utara Semidang Bukit Kaba. Raja Tungkuk kemudian menetap  di Lebong Tandai dan menjadi bagian dari Suku Rejang. Orang-orang Rejang kemudian lebih  mengenal beliau dengan gelar Manuk Mincur.

Pangeran Santa kemudian memberikan wilayah Kaur dari daerah Sambat sampai kehulu, hingga kedaerah Haji (NAMBAK) didaerah Muara Dua, kepada Pangeran Raja Luwih, Sedangkan disekitar Bandar Bintuhan menjadi daerah kekuasaannya.

Perbedaan itu Nampak nyata dalam penggunaan gelar, penguasa Bandar Bintuhan menggunakan gelar Datuk, sedangkan daerah lain di Kaur menggunakan gelar Pangeran, Pesirah atau Depati. 

Puncak kejayaan Kerajaan Kaur berada pada masa pemerintahan Raja Negara Muda atau Pangeran Cungkai Dilangit VI pada sekitar tahun 1840. Kerajaan ini mengalami kemunduran akibat keterlibatannya dalam perang yang sangat panjang dengan Kompeni Belanda.

Dimulai dari dukungan yang diberikan Kerajaan Kaur kepada Kedatuan Pasemah yang berperang melawan Kompeni Belanda dalam Perang Jati tahun 1825. Sampai akhirnya Raja Negara muda terpaksa melakukan evakuasi ke Tanjung Cina pada tahun 1842, dan tahta kerajaan terpaksa diserahkan kepada putrinya, Ratu Dale, yang juga dengan terpaksa memindahkan pusat kerajaan kedaerah pedalaman, tepatnya kedaerah Kedu yang sekarang masuk dalam wilayah Kecamatan Luas, Kabupaten Kaur.

Pada tahun 1871 Belanda dan Inggris menandatangani Traktat Sumatra, yang memungkinkan Belanda melakukan kolonisasi terhadap Aceh dan memberangus eksistensi kerajaan-kerajaan diseluruh Sumatra dengan membangun birokrasi dan memecah belah wilayah kerajaan yang ada, serta menempatkan para raja dalam posisi ketua adat atau kepala marga (sebuah teritori yang lebih luas dari desa, tetapi tidak lebih luas dari kecamatan), dengan gelar Pesirah, juga tidak lagi diberikan izin untuk memiliki angkatan perang. Semua itu tertulis secara otentik dalam buku “STAATKUNDING OVERZIGHT VAN NEDHERLAND INDIE OVER 1838 - 1848“

Melihat angka tahun pendirian Kerajaan Kaur, maka jelas sekali bahwa kerajaan ini masuk dalam   periodeisasi islam.

Hal lain yang perlu ditegaskan bahwa Suku Kaur bukanlah bagian dari Suku Serawai. Ia adalah klan yang lahir dari perkawinan antara Suku  Banten dengan Suku Pasemah. Kenyataan ini jelas terlihat dari penggunaan bahasa. Bahasa Kaur tidak terikat oleh kaidah-kaidah ” NYERAWAI ” Seperti dalam bahasa yang umum digunakan oleh klan Serawai didaerah Manna, Talo, Pino, dan Seluma.  

***Sumber bacaan :
  1. Sejarah dan adat istiadat Kaur. Badan Musyawarah Adat Kaur 2003
  2. Perumusan Kebijaksanaan Sejarah dan Purbakala Kab. Kaur oleh Agus Setyanto.
  3. Eksistensi Kaur dalam bingkai Tungguan Jagad Pasemah oleh Zainul Achyar. Gelar Pangeran Balin Muda.
  4. Rekomendasi Seminar kebudayaan daerah Kab. Kaur th. 2007
  5. Disarikan oleh : Drs.H.Son.Eswandy Ketua PWK Palembang


1 comment:

  1. Terimakasih atas info ini semoga selalu digali lagi sejarah2 kaur yang belum bisa diungkap

    ReplyDelete