Pages

Thursday 5 January 2017

Kerajaan Anak Sungai Bengkulu

Kerajaan Anak Sungai Bengkulu

Kerajaan Anak Sungai terletak di bagian utara wilayah Bengkulu sekarang wilayahnya terdiri dari lembah-lembah Sungai Menjunto di utara sampai Air Urai di Selatan. Sultannya bernama Encik Redik, keturunan dari raja-raja di Pariaman dengan gelar Sultan Saidi Syarif dan berkedudukan di Menjuto. Kerajaan ini meliputi daerah-daerah Negeri Empat Belas Kota (Mukomuko), Negeri Lima Kota (Bantal), Negeri Proatin Nan Kurang Satu Enam Puluh (Seblat) dan Ketahun.

Secara tradisional Kerajaan Anak Sungai dianggap sebagai rantau dari Kerajaan Minangkabau, dan pada permulaan abad XVII merupakan provinsi dari Kerajaan Indrapura di bawah Sultan Muzaffar Syah (1620-1660). Rakyatnya terdiri dari penduduk asli dusun yang terkenal dengan sebutan Suku Anak Sungai, anak pesisir yang menetap disitu membuka ladang padi sambil berkebun lada, yaitu sejumlah kecil orang Palembang dan Jambi. Adapun mayoritasnya adalah orang-orang Padang Darat yang banyak berdiam di pasar sebagai pedagang.

Pemerintahnya berpola Melayu, yaitu kedaulatan politik berada pada Sultan Menjuto dan dibantu oleh beberapa menteri. Penduduknya beragama Islam. Pada tiap-tiap dusun ada pemimpinya, yaitu Proatin, yang secara sukarela tunduk kepada sultan, sedangkan terhadap menteri, secara teori, pada waktu tertentu mereka memberi penghormatan dan upeti. Menteri Negeri Empat Belas Kota (Mukomuko) mempunyai kedudukan tertinggi yang mengurus hal ihwal negara, Menteri Lima Kota atau Bantal mengurus keamanan dalam negeri, sedangkan para Proatin mengurus dusunnya masing-masing.

Sebagaimana diketahui dalam sejarah, pada permulaan abad ke XVII, Kerajaan Indrapura berada di bawah pengaruh Kerajaan Aceh sampai akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda, di mana pengaruh Aceh mulai terasa berkurang, terutama di bawah Sultan Iskandar Sani dan istrinya Ratu Tajaul Alam (1641-1675). Dengan demikian maka Sultan Indrapura, Muhammad Syah (1660-1691) putra Sultan Muzaffar Syah, merasa agak leluasa mengadakan perdagangan dengan para pedagang Eropa seperti VOC Belanda dan EIC Inggris.

Pada tahun 1663 Kerajaan Indrapura membuat perjanjian dagang dengan VOC. Pada pertengahan abad XVII, Kerajaan Anak Sungai masih di bawah Kerajaan Indrapura, yang wakilnya berkedudukan di Manjuto dengan menyandang gelar Raja Adil, yaitu Tuanku Sungut, kemenakan laki-laki Sultan Muhammad Syah.

Selama abad XVII timbul hasrat pada rakyat Kerajaan Anak Sungai untuk memisahkan diri dari kekuasan Sultan Indrapura. Keinginan ini disokong Raja Adil. Maka timbullah kerusuhan politik di wilayah Anak Sungai yaitu gerakan memisahkan diri dari kekuasaan Indrapura yang dipimpin kerabat Sultan Muhammad Syah yang mewakilinya di wilayah Anak Sungai. Yaitu Tuanku Sungut dan Tuanku Di Bawa Pauk (Raja Kecil Besar).

Seterusnya diketahui bahwa keributan yang muncul dengan bantuan EIC dapat diselesaikan buat sementara dengan adanya kantor dagang dan pos pertahanan Inggris di Manjuto pada tahun 1686. Pada tahun 1691, Raja Mansur kemenakan Sultan Muhammad Syah dan juga saudara laki-laki Raja Perempuan yang kawin dengan Panglima Raja dari Padan, atas bantuan VOC (Belanda) menjadi Sultan Indrapura, sedangkan Sultan Muhammad Syah melarikan diri ke Manjuto. Di Manjuto beliau tidak diterima dengan baik, tetapi didaulat oleh penguasa Kerajaan Anak Sungai, Raja Itam, anak Encik Redik, keturunan Raja Pariaman.

Putera Raja Itam bernama Gulemat yang masih di bawah umur diangkat sebagai pengganti ayahnya yang meninggal di tahun 1695. Kematian Raja Itam ini dipakai sebagai kesempatan terbaik oleh Sultan Muhammad Syah dan wakilnya Raja Adil untuk menuntuk kembali Kerajaan Anak Sungai sebagai Provinsi Kerajaan Indrapura, tetapi Inggris menolak tuntutan mereka sepenuhnya dan tetap melindungi Gulemat.

Sementara itu pada tahun 1693 Inggris menarik diri dari Indrapura karena Sultan Indrapura, Raja Mansur yang menjatuhkan Sultan Muhammad Syah atas bantuan Belanda (VOC) menetapkan seorang putranya, Merah Bangun, sebagai wakilnya (Ratu Adil) di Manjuto. Melihat keadaan demikian Inggris berkompromi dengan mengakui Merah Bangun dan Gulemat sebagai penguasa bersama atas wilayah Anak Sungai dan pada tanggal 16 September 1695 EIC mengakui pemerintahan bersama mereka.

Seterusnya diketahui bahwa Raja Adil tidak senang dengan sikap Inggris di Manjuto, yaitu sikap Charles Barwell yang mencoba mempertahankan status quo dengan cara membagikan daerah-daerah. Raja Adil mempunyai pengawasan bebas atas Manjuto, dan Gulemat tetap menguasai daerah-daerah lain dan Kerajaan Anak Sungai. Pembagian tersebut tidak menyelesaikan masalah dan pada tahun 1699, Raja Adil menarik diri dari pemerintahan dan meninggalkan Gulemat sebagai penguasa tunggal Kerajaan Anak Sungai. Merah Bangun pindah berkedudukan di Mukomuko, dan menentang Gulemat. Demikian juga raja Makota, ayah tiri Gulemat, menentang Gulemat dan berhasil menguasai Manjuto pada tahun 1716. satu-satunya anak yang hidup, yaitu Raja Kecil Besar gelar Tuanku di Bawa Pauk, menjadi Penguasa Menjuto yang diakui oleh EIC sebagai Sultan Kecil Muhamad Syah (1716-1728). Pada tahun 1728, Raja Kecil Besar meletakkan jabatannya secara sukarela.

Berdasarkan hasil musyawarah, para Proatin telah mengajukan permohonan kepada Sultan Indrapura agar putranya Merah Bangun yang berkedudukan di Mukomuko diperkenankan untuk dinobatkan menjadi Sultan Mukomuko yang otonom. Pada bulan Agustus 1728 Merah Bangun dinobatkan oleh Sultan Indrapura sebagai Sultan Mukomuko pertama dan berdiri sendiri, berkedudukan di Mukomuko dengan gelar Sultan Gendam Mersah (1728-1752)

Last Updated (Wednesday, 19 May 2010 16:45) © MTQN XXIII BENGKULU 2010 - Dinas Perhubungan dan Kominfo Provinsi Bengkulu.

No comments:

Post a Comment